Rabu, 24 November 2010

Lagi, gajah obrak-abrik perkebunan

Friday, 19 November 2010 08:04

ACEH UTARA - Setelah sepi beberapa saat, kawanan gajah yang diperkirakan lebih 25 ekor kembali mengobrak-abrik areal perkebunan di Desa Buket Linteung, Kecamatan Langkahan, Kabupaten Aceh Utara.

Selain mematahkan tanaman sawit tua, satwa liar berbadan jumbo itu juga ikut memusnahkan tanaman muda, seperti sawit setinggi dua meter, tanaman coklat, pisang, pinang, dan jeruk nipis.

Aksi gajah di sana telah terjadi berulangkali, bahkan sejumlah titik seperti di Buket Tengkorak dan kawasan Alue Munjei, kini menjadi sarang gajah yang jumlah mencapai 45 ekor lebih.

Tokoh Desa Buket Linteung, Ridwan, mengatakan aksi kawanan gajah yang jumlah tak terhingga kembali beraksi, di kawasan Dusun Kareung. Dua hari sebelumnya, puluhan warga mencoba melakukan penyisiran dengan menggunakan obor dan meriam bambu.

"Meski telah diupayakan secara tradisional dalam pengusiran hewan berbelalai itu ke arah hutan, namun hingga kini belum membuahkan hasil. Bahkan warga memperkirakan semakin sering diusir semakin banyak kawasan gajah yang datang ke areal perkebunan penduduk," ujar Ridwan, pagi ini.

Kepala Desa Buket Linteung, Abdussalam, membenarkan aksi kawanan gajah kembali terjadi di sejumlah titik di desa itu. Namun karena sudah lelah dengan pengusiran yang tak membuahkan hasil, kini masyarakat lebih memilih diam dan menunggu proses pengusiran.

“Gajah terus beraksi di kawasan Kareung. Luas areal perkebunan sawit yang diamuk sudah tidak terhitung lagi jumlahnya. Bahkan, kini beberapa rumah disana mulai dikosongkan sementara menunggu mundurnya aksi gajah,” jelas Abdussalam.

Sumber : Waspada online

Senin, 22 November 2010

Banjir Bandang Terjang Aceh Utara dan Tamiang

* Lintas Lamno-Calang Tergenang Air 50 Cm
Tue, Nov 23rd 2010, 10:55
Utama

Warga menggunakan sampan sebagai alat trasportasi akibat banjir di kawasan pinggir sungai, Kota Kuala Simpang, Senin (22/11). Sejumlah desa di kawasan hulu Sungai Tamiang dilanda banjir bahkan Kampong Seulamat, Kecamatan Tenggulun, Aceh Tamiang diterjang banjir bandang. SERAMBI/M NASIR




LHOKSEUMAWE - Hujan deras yang mengguyur wilayah pegunungan dan hulu sungai di utara dan timur Aceh, sejak dua hari terakhir, telah menyebabkan banjir bandang (banjir kiriman), di sejumlah kawasan di Aceh Utara dan Aceh Tamiang. Hujan deras juga telah menyebabkan kemacetan di ruas jalan Lamno-Calang, yang digenangi air setinggi 50 centimeter.

Sedikitnya, empat desa dalam wilayah Kecamatan Muara Dua dan satu desa di Kecamatan Blangmangat, Lhokseumawe, sejak Minggu (21/11) malam, dilaporkan diterjang banjir kiriman dari kawasan perbukitan di daerah itu. Akibatnya, aktivitas sebagian masyarakat setempat, termasuk sekolah, dilaporkan ikut terganggu.

Desa-desa yang dilanda banjir bandang itu adalah Desa Meunasah Mesjid, Uteunkot, Meunasah Alue, dan Paya Punteuet di Kecamatan Muara Dua, serta Desa Blang We Panjo di Kecamatan Blang Mangat. Bahkan, kegiatan belajar mengajar di SMP Negeri 7 Lhokseumawe, di Desa Unteukot, ikut terhenti akibat digenangi air akibat banjir bandang itu.

Berdasarkan informasi yang dihimpun Serambi, kemarin, banjir bandang seperti yang dialami warga di dua kecamatan itu baru pertama kali terjadi, di mana setelah reda hujan baru air datang dan mengenangi wilayah pemukiman dan rumah-rumah mereka. “Di desa kami, banjir hanya menggenangi areal persawahan,” kata Aji, Keuchik Blang We Panjo, Kecamatan Blangmangat.

Sumber lainnya menyebutkan, pihak aparat Desa Meunasah Masjid, Senin (22/11) dini hari kemarin, terpaksa mengimbau warga yang rumahnya digenangi banjir untuk mengungsi ke masjid. “Setelah kita imbau, ada 40 kepala keluarga yang mengungsi ke masjid. Namun, sebagian besar warga lainnya memilih bertahan di rumah masing-masing,” kata Keuchik Meunasah Masjid, Irwan Yusuf.

Hujan deras yang terus turun sejak dua hari terakhir, juga telah menyebabkan sejumlah ruas jalan di Kota Lhokseumawe ikut digenangi banjir. Bahkan, ruas jalan di simpang Kantor Pos hingga ke RS Kesrem dan jalan Lancang Garam digenangi air sampai 35 centimeter.

Dikepung banjir
Sementara itu, dari Kuala Simpang, Aceh Tamiang, dilaporkan kawasan hulu Sungai Tamiang di Kecamatan Tenggulun dan Kecamatan Tamiang Hulu kini juga dikepung banjir setinggi satu meter. Bahkan, Desa Seulamat di Kecamatan Tenggulun, sejak Minggu (21/11) malam lalu, dilaporkan sempat diterjang banjir bandang.

Tidak ada korban jiwa dalam musibah banjir tersebut namun aktivitas warga lumpuh, warga hanya siaga dan berdiam diri di rumah, khawatir jika tiba-tiba air terus meningkat. Sementara sejumlah sekolah walaupun tidak libur terpaksa ditutup, tidak ada aktivitas belajar karena murid–muridnya tidak bisa hadir ke sekolah akibat banjir.

Camat Tenggulun, Rafiie, mengatakan beberapa desa dalam wilayah kecamatan yang dipimpinnya itu terendam banjir. Di antaranya, Desa Simpang Kiri banjir menggenangi tiga dusun yakni Dusun Termal, Sisirau, dan Pondok. “Tapi yang paling parah adalah Desa Seulamat, yang diterjang banjir bandang dengan ketinggian air sebatas dada orang dewasa,” katanya kepada Serambi, kemarin.

Banjir juga merendam Desa Tenggulun dan menggenangi badan jalan yang membuat arus transportasi ikut terganggu. Sedangkan sekolah di Simpang Kiri tidak ada kegiatan belajar mengajar, karena muridnya tidak bisa hadir kesekolah akibat rumah mereka banjir. Banjir kali ini, juga menggenangi sejumlah kawasan di dalam kota Kuala Simpang, ibukota Aceh Tamiang.

Mengalami kemacetan
Semendata itu, sejak Minggu (21/11) siang sampai Senin (22/11) Sore kemarin, ratusan kenderaan umum dan pribadi di wilayah rakit Kuala Unga, Meudang Ghon dan Lambeso masih mengalami kemecetan. Kondisi ini terjadi akibat tingginya curah hujan yang melanda wilayah tersebut sehingga mengakibatkan jalan tanggap darurat yang dibangun TNI lima tahun lalu digenangi air hingga ketinggian 50 cm.

Selain itu akibat derasnya arus sungai Kuala Unga dan Lambeso, penyeberangan kenderaan umum dan pribadi, pada kedua rakit tersebut ikut terganggu. Menurut sejumlah sopir Mini Bus L-300 jurusan pantai barat, kemecetan dan antrean panjang kenderaan umum dan pribadi yang berangkat dari Banda Aceh menuju Meulaboh, maupun sebaliknya, yang hingga Senin (22/11) kemarin belum teratasi.

Kepala Dinas Bina Marga dan Cipta Karya (BMCK) Aceh, Ir Muhyan Yunan yang dikonfirmasi Serambi, kemarin, membenarkan bahwa arus lalu lintas dari Calang-Lamno masih mengalami kemacetan. Sampai kemarin, antrean panjang ratusan kenderaan umum dan pribadi terlihat di jalur rakit Kuala Unga dan Lambeso. “Antrean panjang juga disebabkan arus penyeberangan rakit, yang memakan waktu 6-8 jam untuk bisa diseberangkan,” katanya.

Untuk mengatasi kemecetan penyeberangan di dua lokasi rakit itu, kata Muhyan, solusinya harus menunggu air sungai menurun. Sedangkan untuk mengatasi kemecetan kenderaan yang terperangkap lumpur di Meudang Ghon, pada ruas jalan tanggap darurat yang dibangun TNI lima tahun lalu, baru bisa dilakukan setelah air yang tergenang di badan jalan sudah kering.

Wakil Ketua II DPRA, yang mengkoordinir Bidang Infrastruktur, Drs H Sulaiman Abda, kemecetan ini terjadi akibat lambanya penyelesaian pembangunan ruas jalan Lamno-Calang, terutama untuk pekerjaan Section IV. “Kemecetan arus lalu lintas terjadi pada ruas yang jembatan dan badan jalan yang belum dikerjakan Sangyong, rekanan USAID,” katanya.

Untuk mengatasi kemacetan pada ruas jalan itu, kata Sulaiman Abda, seharusnya pihak Dinas BMCK, bersama Dinas PU Aceh Jaya dan Sangyong, kontraktor yang ditunjuk USAID melanjutkan pekerjaan ruas jalan Section IV tersebut menjaga badan jalan tanggap darurat jangan sampai digenangi air hujan pada waktu musim hujan.

Dikatakannya, badan jalan tanggap darurat itu sangat riskan terhadap truk yang bermuatan 30-40 ton, di mana setiap musim penghujan, tetap ada truk yang terperosok lumpur di jalan tanggap darurat. “Ini menunjukkan badan jalan tanggap darurat itu tidak mampu menahan beban truk yang bermuatan 30-40 ton,” ujar Sulaiman Abda.(bah/c37/ib/md/her)

sumber : Serambinews.com

Minggu, 21 November 2010

Krueng Peutoe Diduga Tercemar Limbah Pabrik

* Air Sungai Berubah Warna, Ikan Mati

Sun, Nov 21st 2010, 10:44
LHOKSUKON – Masyarakat yang bermukim di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) Krueng Peutoe, mulai dari Kecamatan Cot Girek sampai Kecamatan Lhoksukon, Aceh Utara, Sabtu (20/11) sore dipanikkan dengan perubahan warna air sungai, termasuk bau dan banyaknya ikan yang mati mengapung. Masyarakat meyakini air sungai itu tercemar limbah pabrik pengolahan kelapa sawit.

Informasi yang diterima Serambi, Sabtu (20/11) malam sekitar pukul 19.30 WIB menyebutkan, masyarakat mengetahui air Krueng Peutoe tercemar ketika hendak mandi di sungai tersebut. Masyarakat kaget karena warna air sungai kehitam-hitaman, berminyak, dan baunya sama seperti kasus pencemaran beberapa waktu lalu.

Keuchik Meunasah Tuha, Kecamatan Lhoksukon, M Kasyah Abdurrahman kepada Serambi mengatakan, setelah mendapat laporan dari warganya, dia langsung memastikan ke sungai. Ternyata benar, bahkan sebagian besar warganya ikut mengumpulkan ikan yang mengapung di permukaan air.

Sejak magrib kemarin, kata M Kasyah, air sungai tersebut berubah dari kehitam-hitaman menjadi agak kuning dan berminyak. “Hingga menjelang shalat Isya saya masih mengumpulkan ikan yang mati bersama warga lain di jembatan gantung,” kata Keuchik Kasyah dibenarkan warganya, Ismail Abdullah (43) dan Nuraini.

Seorang warga Desa Lhok Reuhat, Azhar (35) tadi malam juga menyebutkan, Krueng Peutoe yang melintasi desanya juga tercemar. Menurutnya, ikan mati di sungai tersebut bukan karena diracun, tetapi karena dugaan pencemaran sungai tersebut. “Anak saya juga membawa pulang ikan yang sudah mati yang dikumpulkan di sungai,” katanya.

Tidak benar
Asisten Pengolahan Pabrik Kelapa Sawit Cot Girek, M Yacob yang dihubungi Serambi menyebutkan, pihaknya selama ini tidak membuang limbah pabrik ke sungai. Apalagi, selama ini pabrik kelapa sawit sudah kurang beroperasi karena produksi TBS (tandan buah segar) mulai berkurang.

“Setiap hari Minggu dan kadang-kadang Sabtu, pabrik tidak kita operasikan. Jika tercemar karena limbah pabrik, seharusnya yang duluan tercemar adalah Desa Alue Semambu, bukan langsung ke sungai. Tapi desa itu tak apa-apa,” kata M Yacob. Mengenai banyaknya ikan yang mati di aliran sungai tersebut, menurut M Yacob bisa jadi karena faktor lain, bukan karena tercemar limbah pabrik.(c37)

Sumber : Serambinews.com

Limbah Pabrik Harusnya tak Mencemari Sungai

Mon, Nov 22nd 2010, 09:35

Masyarakat yang bermukim di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) Krueng Peutoe, mulai dari Kecamatan Cot Girek hingga Kecamatan Lhoksukon, Aceh Utara, Sabtu (20/11) sore, dipanikkan oleh perubahan warna dan bau air Sungai Peutoe, serta banyaknya ikan yang mati mengapung. Masyarakat meyakini, air sungai itu sudah tercemar limbah pabrik pengolahan kelapa sawit.

Masyarakat baru menyadari air sungai tersebut sudah tercemar justru ketika hendak mandi sore di sungai. Mereka kaget karena warna airnya berubah menjadi kehitam-hitaman, berminyak agak kuning, dan baunya khas, mirip bau yang tercium ketika terjadi pencemaran oleh limbah pabrik sawit beberapa waktu lalu di sungai yang sama.

Keuchik Meunasah Tuha, Kecamatan Lhoksukon, M Kasyah Abdurrahman mengatakan, setelah mendapat laporan dari warganya, dia langsung memastikan ke sungai. Ternyata benar, bahkan sebagian besar warganya ikut mengumpulkan ikan yang mati mengapung di permukaan air akibat tercemar limbah.

Secara ekologis, tampaknya sudah cukup syarat untuk menyimpulkan bahwa benar Krueng Peutoe memang tercemar. Bahwa ada zat polutan yang masuk dalam jumlah besar ke sungai, sehingga mengubah warna dan aroma air sungai tersebut. Indikasi lain, ikan sungai yang habibatnya memang di sungai, justru ditemukan mati mengapung dalam jumlah massif.

Jika ditelisik lebih jauh, misalnya, dengan mengambil sampel air yang diduga tercemar itu, lalu diperiksa di laboratorium independen, mungkin saja bukan cuma ikan yang ikut mati. Tetapi juga jasad-jasad renik atau mikroorganisme lainnya yang seharusnya hidup aman dan nyaman apabila air sungai dalam kondisi normal.

Lebih jauh ini, fungsi hidrologis sungai tersebut mungkin saja sudah terganggu, karena masuknya zat polutan yang berkategori bahan berbahaya dan beracun (B3). Tapi jangan cepat-cepat menuding bahwa limbah tersebut memang disebabkan limbah Pabrik Kelapa Sawit Cot Girek. Soalnya, seperti dikatakan asisten pengolahan pabrik tersebut, M Yacob, selama ini pabrik tersebut tidak membuang limbah ke sungai. Apalagi selama ini pabrik kelapa sawit tersebut sudah kurang beroperasi karena produksi tandan buah segar mulai berkurang.

Apa yang dikatakan M Yacob tersebut bisa saja pembelaan dirinya, mengatasnamakan pabrik sawit tempat ia bekerja. Oleh karenanya, agar kita tidak terjebak pada polemik panjang, maka Pemkab haruslah segera memerintahkan Kepala Badan Lingkungan Hidup Aceh Utara untuk menyelidiki dan memeriksa sampel air sungai untuk memastikan zat polutan apa yang sebetulnya sudah mencemari sungai tersebut dan pihak mana yang menyebabkannya.

Bila semuanya sudah jelas, pihak pencemar harus dimintai pertanggungjawaban perdata dan diproses secara hukum berdasarkan Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Di era modern ini, seharusnyalah berbagai masalah kita selesaikan dengan hukum yang berlaku. Jangan main hakim sendiri.

sumber : Serambinews.com

Minggu, 14 November 2010

Jalan Jambo Aye Tengah Rusak Parah

Fri, Nov 12th 2010, 14:39

LHOKSUKON - Jalan sepanjang 15 kilometer dari Desa Lhok Meureubo sampai ke Bukit Nibong dan tembus ke Transmigrasi Unit-V saat ini rusak parah. Padahal, jalan tersebut merupakan pintu gerbang bagi warga 17 desa di Kemukiman Jambo Aye Tengah, warga Baktiya, dan Kecamatan Langkahan.

Keuchik Matang Maneh, Zulli Amin mengatakan, jalan di desa itu sepanjang 2,5 kilometer tidak pernah diaspal sejak puluhan tahun lalu. Padahal, menurutnya, jalan itu adalah sarana transportasi utama bagi warga beberapa desa untuk mengangkut hasil bumi ke pasar Pantonlabu. Dikatakan, saat musim hujan jalan itu berlubang sehingga sulit dilalui. “Kita telah beberapa kali mengusulkan perbaikan jalan itu dalam Musrembang, namun sampai kini belum juga diaspal,” ujarnya.

Hal serupa juga diungkapkan Keuchik Lhok Beuringen, Zulkifli Ishak. Menurutnya, sekitar 13 kilometer jalan di Lhok Meureubo sampai Bukit Nibong kondisinya sangat memprihatinkan. Ratusan pelajar jika musim hujan harus melintasi jalan berlumpur untuk menuju ke sekolah. Karena itu, ia mengharapkan pihak terkait segera memperbaiki jalan tersebut.(ib)

Sumber : Serambinews.com