Kamis, 16 Desember 2010

Irigasi Ditutup, Padi Terancam Mati

Mon, Dec 13th 2010, 14:05

LHOKSUKON - Ratusan hektare padi yang baru selesai ditanam sekitar sebulan lalu di lima desa di Kecamatan Sawang, Aceh Utara terancam mati karena kekurangan air. Hal itu terjadi akibat pintu irigasi ke kawasan itu ditutup oleh warga yang mengaku pemilik tanah di lokasi irigasi tersebut karena rekanan belum membayar ganti rugi kepada mereka. Sehingga warga setempat kini tak bisa mengaliri air dari irigasi ke sawahnya.

Zubir Harun (38), warga Desa Abeuk Reulieng, kepada Serambi, Minggu (12/12) merincikan sawah yang mulai kering berada di Desa Tanjong Keumala, Lhok Krek, Ulee Geudong, Cot Keumuneng, Abeuk Reulieng, dan Paya Gaboh. “Sebagian besar warga sudah selesai menanam padi. Sementara sebagian lagi tidak bisa menanam padi karena benih padi tidak bisa dicabut. Sebab, tanah tempat disemainya sudah keras akibat kekurangan air,” ungkapnya.

Menurut Zubir, pemilik tanah menutup saluran irigasi itu agar pihak rekanan membayar ganti rugi tanah tersebut kepada mereka. “Kami tak menyalahkan pihak mana pun, tapi kami berharap masalah ini segera diselesaikan. Sehingga warga tidak merasakan imbasnya, apalagi hal seperti ini sudah dua kali terjadi,” katanya. Ditambahkan, masalah itu sudah pernah disampaikan ke muspika. Karena itu, ia berharap muspika segera menyelesaikan masalah tersebut sebelum sawah kering kerontang.

Camat Sawang, Sufyan kepada Serambi, kemarin, mengakui masalah itu sebelumnya sudah pernah disampaikan warga ke muspika. Namun, kata Camat, masalah itu telah diserahkan sepenuhnya kepada panitia dan keuchik setempat, karena ketika pembebasan tanah itu tak melibatkan muspika.

Tapi, menurut Camat, jika masalah tersebut belum selesai apalagi menyebabkan ratusan hektare padi terancam mati, ia berjanji akan menyelesaikan masalah itu. “Kita akan berkordinasi dengan muspika supaya ada solusinya, sehingga warga bisa kembali menanam padi dan padi yang telah ditanam bisa rumbuh dengan sempurna,” katanya.(c37)

Sumber : Serambinews.com

Tanggul untuk Kawasan Rawan Banjir Harus Diprioritaskan

Mon, Dec 13th 2010, 14:12

LHOKSUKON - Anggota DPRK Aceh Utara, Tgk Subki El Madny meminta Pemkab Aceh Utara agar memprioritaskan pembangunan tanggul untuk kawasan desa yang rawan banjir. Karena, menurut Subki, dirinya selama ini banyak menerima keluhan warga di Desa Teupin Me dan Desa Blang yang rawan banjir, tapi belum memiliki tanggul.

“Karenanya, ke depan kita harapkan agar pemkab agar melakuan survei lebih dulu sebelum membangun tanggul. Sehingga, proyek itu benar-benar tepat sasaran tak berimbas banjir ke desa lain,” ujar Subki kepada Serambi, Minggu (12/12).

Untuk mengantisipasi terjadi kembali masalah itu, katanya, pemkab harus mencari sumber dana selain APBK, sehingga pada tahun 2011 pembangunan tanggul tersebut bisa direalisasikan dan warga tidak terkena ekses banjir lagi. Dikatakan, masalah itu telah berlangsung lama, namun hingga kini belum bisa diatasi.

Sebelumnya, Yasir (28), warga Desa Blang kepada Serambi mengatakan, akibat pembangunan tanggul yang tak tepat sasaran, saat ini lahan pertanian warga yang dimanfaatkan untuk menanam tanaman palawija telah telantarkan lagi karena rawan terjadi banjir. “Desa kami memang rawan banjir, tapi setelah dibangun tanggul di Serbajaman Tunong dan Desa Punti kondisinya makin parah,” ungkapnya.

Tak maksimal
Secara terpisah, Ketua DPRK Lhokseumawe, Saifuddin Yunus, menilai waduk yang dibangun di kawasan Mon Geudong Pusong dengan dana ratusan miliar rupiah belum berfungsi maksimal. Karena, walau sudah ada waduk, tapi banjir di Kota Lhokseumawe juga terus terjadi.

“Malah, banjirnya bertamah parah dibanding sebelum ada waduk,” ujar Saifuddin kepada Serambi, Minggu (12/11). Dikatakan, hal itu tak sesuai dengan pernyataan pihak pemko sebelumnya dimana dinyatakan bahwa kalau waduk selesai, Lhokseumawe tidak akan banjir lagi. Tapi, lanjut Saifuddin, buktinya sekarang banjirnya malah bertambah parah. “Selain gagal mengatasi banjir, waduk itu telah menimbulkan korban anak-anak tenggelam baru-baru ini,” jelasnya.

Dikatakan, dengan adanya waduk sebenarnya peluang mengantisipasi banjir di Kota Lhokseumawe semakin terbuka lebar. Tapi pemerintah diminta untuk perhatikan dua hal yang sangat penting dan terkesan masih diabaikan. Kedua hal itu, sebut Saifuddin, yaitu pembangunan drainase dengan sempurna dan kebersihan dapat dijaga dengan baik oleh pihak dinas terkait dan masyarakat.(c37/bah)

Sumber : Serambinews.com

Minggu, 12 Desember 2010

Lagi, Banjir Landa Tiga Kecamatan

Thu, Dec 9th 2010, 12:33


Dua pencari ikan melintasi banjir di Desa Lawang, Kecamatan Matang Kuli, Aceh Utara, Rabu (8/12). Banjir kembali melanda Kecamatan Matang Kuli dan Pirak Timu, Aceh Utara.SERAMBI/MASRIADI


LHOKSUKON - Tiga kecamatan di Aceh Utara yaitu Matang Kuli, Paya Bakong, dan Pirak Timu, Rabu (8/12) kembali dilanda banjir. Banjir yang terjadi karena meluapnya Krueng Pase dan Krueng Keureutoe itu mengakibatkan puluhan desa terendam. Banjir kemarin merupakan yang kedua kali melanda tiga kecamatan tersebut dalam sepekan terakhir. Karena, tiga hari lalu tiga daerah itu juga dilanda banjir.

Amatan Serambi, kemarin, rumah warga di pinggir sungai terendam hingga satu meter. Air mulai meluap sejak pukul 06.00 WIB. Desa yang terendam banjir antara lain Desa Lawang, Alue Entok, Tumpok Barat, Hagu, Meuria, Lawang, Parang Sikureueng, Cibrek Pirak, dan Desa Siren di Kecamatan Matang Kuli. Di Paya Bakong, desa yang terendam banjir yaitu Desa Jok dan Lhong Meuria. Sedangkan di Pirak Timu, banjir antara lain menggenangi Desa Tanjung Serkui, Rayeuk Pange, Asan Krueng Kreh, Krueng Pirak, Leupe, Beuracan Rata, dan Desa Krueng.

Akibat banjir, pelajar tak bisa pulang ke rumah mereka, sehingga harus menunggu dijemput orang tuanya. “Kami takut pulang karena airnya tinggi. Sehingga kami harus menunggu dijemput mamak,” kata Abdul Rasyid, pelajar SMP Matang Kuli saat ditemui Serambi, di Desa Lawang, kemarin.

Kepala PMI Ranting Matang Kuli, Usman Nur, yang ditemui di lokasi banjir mengatakan, relawannya yang kini tersebar diberbagai titik terus memantau perkembangan banjir. Langkah itu, menurut Usman, dilakukan pihaknya untuk mengantisipasi jika sewaktu-waktu ada warga yang perlu dievakuasi. “Jika ketinggian air terus naik, kita akan evakuasi warga. Tapi, kita berharap semoga air cepat surut,” harapnya seraya mengimbau warga tetap waspada dan jangan memaksakan diri bertahan di rumah jika ketinggian air terus bertambah.

“Kami harap Pemkab Aceh Utara jangan diam saja karena sudah banyak harta kami yang hilang dan rusak akibat banjir. Dari dulu sampai sekarang, belum ada solusi untuk banjir di kawasan kami,” kata Mustafa, warga Desa Lawang. Ia berharap pemerintah setempat segera membangun tanggul sungai di daerah itu.

Sementara di Kecamatan Banda Sakti, Lhokseumawe beberapa desa di kawasan Tumpok teungoh dan Lancang Garam masih digenangi air akibat hujan empat hari lalu. Pekarangan rumah warga terlihat belum semuanya kering dan air di saluran juga masih penuh. Selain itu banyak saluran tersumbat, sehingga air kurang lancar mengalir ke laut.

Sementara itu, warga Desa Tanjong Reungkam dan Tanjong Hagu, Kecamatan Samudera, Aceh Utara meminta pihak terkait segera memperbaiki tanggul jebol di desa mereka. “Kami berharap tanggul di Desa Tangjong Reungkam segera diperbaiki, meskipun secara darurat dulu untuk mengantisipasi banjir dalam bulan ini. Apalagi mayoritas warga Desa Tanjong Reungkam tinggal dekat sungai,” kata Mukim Madan, Syukri Kepada Serambi, Rabu (8/12).

Wakil Ketua Komisi D DPRK Aceh Utara, Tgk Zainal Abidin kepada Serambi mengaku masalah itu sudah lama dikeluhkan warga, apalagi sekarang sedang musim hujan. Karenanya, ia berharap dinas terkait segera mencari solusi terhadap masalah itu sebelum terjadi hal-hal yang tak diinginkan.

Masih tergenang
Dari Bireuen dilaporkan, puluhan hektare tambak di Desa Cot Keuranji, Cot Panjoe, Cot Nga, Pulo Naleung, Matang Mamplam, Kecamatan Peusangan hingga kemarin masih tergenang akibat hujan deras yang melanda kawasan itu sejak beberapa hari lalu. Begitu juga puluhan hektare sawah di kawasan Alue Geulumpang, Cot Rabo dan Desa Cot Puuk di kecamatan yang sama masih tergenang. Sementara genangan di rumah warga akibat banjir sejak Selasa (7/12) sore sudah surut.

“Penyebab utama terjadi genangan tersebut karena tak ada saluran pembuang. Kalaupun ada desa yang memiliki saluran, tapi saluran itu makin kecil dan dangkal,” kata Jafaruddin, warga setempat kepada Serambi, kemarin. Ia berharap pemerintah dan DPRK Bireuen memberi perhatian serius terhadap masalah itu.(c46/ib/c37/yus)

sumber : Serambinews.com

Kamis, 09 Desember 2010

Puluhan Hektare Padi Terancam Gagal Panen

Serangan Burung Pipit Mengganas

Mon, Dec 6th 2010, 13:45

LHOKSUKON - Warga Kecamatan Tanah Luas, Aceh Utara mengeluhkan serangan hama burung pipit yang menyerang puluhan hektare padi yang sudah menjelang panen disejumlah desa kawasan itu. Warga khawatir serangan hama itu bisa menyebabkan gagal panen. Pasalnya, walaupun warga sudah berupaya mengatasinya, tapi serangan hama itu malah makin mengganas.

“Kami sudah mendatangkan pemburu burung pipit dari desa lain untuk mengatasi masalah ini. Meski mereka berhasil menangkap ribuan ekor burung pipit pada malam harinya, tapi serangan hama tersebut tidak berkurang. Bahkan kian bertambah,” kata Ketua Kelompok Tani Nelayan Andalan (KTNA) Kecamatan Tanah Luas, Ibna Amin kepada Serambi, Minggu (5/12).

Bahkan, menurut Ibna, pihaknya juga sudah menggelar doa bersama di meunasah karena diyakini dengan doa bersama padi mereka terhindar dari serangan hama itu. “Biasanya setelah digelar doa bersama di meunasah sekitar tiga malam berturut-turut, serangan hama langsung berkurang, tapi tahun ini tidak” ungkapnya.

Disebutkan, padi yang diserang burung pipit itu antara lain Desa Ujong Baroh Beureughang, Meunasah Teungoh, Pulo Blang, Meunasah Alue dan sebagian Desa Alue Keujruen. “Kami khawatir jika serangan hama itu tak mampu dicegah dalam waktu dekat akan berdampak pada kualitas padi. Karena warga terpaksa memanen sebelum waktunya,” kata Ibna.

Kepala Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) Tanah Luas, Abdul Barri yang dihubungi Serambi, kemarin, mengakui dalam sepekan terakhir serangan hama burung pipit dan sejenisnya di kawasan Ujong Baroh kian mengganas. Menurutnya, kondisi itu terjadi akibat pola tanam tidak serentak, sehingga meski padi di desa lain sudah panen, tapi di kawasan itu masih ada yang belum panen.

Padahal, tambah Abdul Barri, jika panen bisa serentak, serangan hama tak separah sekarang. Tapi, karena kini hanya luar arealnya yang belum panen semakin kecil, sehingga berbagai jenis hama di kawasan itu berlomba mencari makanan. “Kita bersama petugas akan berusaha mengatasi masalah ini, Tapi, ke depan kita harapkan warga mau menanam serentak,” harap Abdul Barri.(c37)

sumber : Serambinews.com

Rabu, 08 Desember 2010

Polisi Tangkap 8 Ton Kayu Ilegal

Fri, Dec 3rd 2010, 14:07

Polisi berpakaian preman mengangkut kayu ilegal di Desa Tanjung Ara, Kecamatan Tanah Jambo Aye, Aceh Utara, Kamis (2/12). Polisi belum mengetahui siapa pemilik kayu ilegal tersebut.SERAMBI/MASRIADI


LHOKSUKON - Aparat kepolisian, Kamis (2/12) menangkap delapan ton kayu ilegal di Desa Tanjung Ara, Kecamatan Tanah Jambo Aye, Aceh Utara. Kayu itu ditumpuk di tiga titik terpisah di desa tersebut, di dua titik berada di belakang panglong kayu milik Aiyub, warga setempat yang disembunyikan di semak-semak.

Sejumlah personel polisi kesulitan mengangkut kayu itu karena harus membersihkan semak-semak lebih dulu untuk bisa mengangkut kayu itu dengan mobil reo. Di lokasi itu ditemukan lima ton kayu jenis sembarang seperti merbo dan seumatuk. Sementara itu, tiga ton lainnya ditangkap di perbatasan antara Langkahan dan Panton Labu.

Kapolres Aceh Utara, AKBP Farid BE, melalui Kasat Reskrim, AKP Erlin Tang Jaya, kepada Serambi, mengatakan, awalnya sekitar pukul 04.00 WIB personel Polsek Tanah Jambo Aye menangkap kayu ilegal tiga ton. “Kayu itu ditemukan dalam truk di perbatasan Panton Labu dan Langkahan. Kemudian di bawa ke Polsek Tanah Jambo Aye dan seterusnya di bawa ke Polres Aceh Utara di Lhoksukon,” jelas AKP Erlin.

Tak lama kemudian, lanjutnya, jajaran Polres Aceh Utara juga menangkap kayu yang disembunyikan di semak-semak di kawasan Desa Tanjung Ara, Kecamatan Tanah Jambo Aye. “Kami angkut kayu itu dengan mobil reo. Sampai sekarang kayu itu belum diketahui siapa pemiliknya,” sebut AKP Erlin seraya menambahkan pihaknya akan terus menyelidiki pemilik kayu ilegal itu. “Sampai sore ini (kemarin-red), pengangkutan kayu itu masih sedang berlangsung,” pungkasnya.(c46/ib)

Selasa, 07 Desember 2010

Jalan di Sekitar Exxon tak Dirawat

Thu, Dec 2nd 2010, 12:22

LHOKSUKON - Jalan kabupaten sepanjang 15 kilometer di seputaran ExxonMobil dalam beberapa kecamatan di Aceh Utara kini kondisinya memprihatinkan. Pasalnya, disepanjang jalan beraspal hotmix itu dipenuhi lubang sehingga sulit dilewati kendaraan.

Jalan yang rusak itu antara lain di kawasan Cluster satu Simpang Ceubrek Kecamatan Syamtalira Aron yang melintasi Kecamatan Tanah Luas, Nibong tembus ke Desa Meuria, Kecamatan Matangkuli sepanjang 10 kilometer. Selain itu, jalan dari Matangkuli tembus ke Pirak Timur dan dari Landing Kecamatan Lhoksukon tembus ke Simpang Blang Jruen.

Tokoh pemuda Matangkuli, Teuku Hasansyah Rabu (1/11) mengatakan, selain jalan itu, banyak lagi jalan desa yang dulunya dimanfaatkan Exxon mengangkut alat berat kini ikut rusak karena Exxon tak lagi merehabnya. Menurutnya, jalan tersebut merupakan jalan negara yang dulunya sebagian digunakan perusahaan.

Camat Tanah Luas TM Yusuf juga mengakui di kecamatan yang kini dipimpinnya itu banyak jalan aspal yang mulai berlubang karena selama ini tak pernah diperbaiki. Ia berharap ExxonMobil walau operasionalnya telah dikurangi, namun dana rehablitasi lingkungan tetap dikucurkan dengan lancar.(ib)

Sumber : Serambinews.com

Senin, 06 Desember 2010

Semrawutnya Sektor Perizinan Aceh Utara

Tue, Nov 30th 2010, 15:44

Masriadi Sambo - KONTRAS
Sektor perizinan memang menjadi sorotan baru di Aceh Utara. Pasalnya, sektor ini dinilai menjadi lumbung pendapatan asli daerah (PAD). Namun, banyak persoalan yang melilit sektor itu. Mulai dari selektifitas yang lemah, hingga fasilitas yang tidak memadai.

GEDUNG bertingkat dua di Jalan Iskandar Muda, Kota Lhokseumawe, itu terlihat sepi. Sesekali masyarakat datang memasuki kantor bercat warna putih itu. Itulah gedung Kantor Perizinan Terpadu Satu Pintu (KPTSP) Aceh Utara.

Di dalam gedung sangat terasa suasana sepi. Di bagian kanan pintu masuk tampak dua pegawai santai di loket pembayaran. Hari itu, memang tidak ada masyarakat yang mengantre mengurus izin. Di bagian gedung lainnya, tampak pegawai juga santai. Di dalam gedung itulah seluruh proses perizinan di Aceh Utara diterbitkan, dari izin mendirikan bangunan (IMB) sampai izin industri. Saat ini tercatat ada 19 jenis perizinan yang ditangani kantor tersebut. Bahkan, qanun tentang izin pariwisata juga sedang digodok. Artinya, pada tahun 2011 mendatang, kantor itu akan mengurusi izin sebanyak 20 jenis.

Persoalan perizinan memang baru ditangani di kantor itu dalam setahun terakhir. Sebelumnya, sektor perizinan terpencar di sejumlah dinas. Misalnya, izin rumah makan, ditangani oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. Pascadileburkannya sejumlah dinas dan dibangunnya KPTSP awal tahun lalu, seluruh perizinan telah ditangani kantor ini.

Masalah di sektor perizinan memang cukup rumit. Untuk mendapatkan izin, sejumlah masyarakat harus datang ke KPTSP di Lhokseumawe. Sedangkan masyarakat Aceh Utara lebih banyak berada di daerah pedalaman, misalnya di Kecamatan Langkahan, yang berbatasan langsung dengan Aceh Timur. Kecamatan Nisam Antara berbatasan langsung dengan Kabupaten Bener Meriah, dan sejumlah kecamatan pedalaman lainnya.

Akibatnya, praktik pungutan liar di kantor kecamatan pun tak bisa dihindarkan. Umumnya, untuk mengurus izin masyarakat meminta rekomendasi dari kecamatan. Lalu, baru membawanya ke KPTSP.

“Lebih banyak yang menggunakan pegawai kecamatan. Jadi, di sini biasanya diminta biaya lagi oleh oknum pegawai kecamatan. Ini sudah jadi rahasia umumlah,” ujar sumber Kontras yang meminta namanya tak disebutkan. Rata-rata pungutan itu sebesar Rp 100.000.

“Alasannya biaya jasa ke Lhokseumawe. Padahal, orang kecamatan dilarang keras untuk melakukan itu,” sebut sumber ini. Bagi masyarakat yang berada, memang tak masalah mengeluarkan uang sebesar Rp 100.000. Namun, bagi masyarakat miskin, ini menjadi persoalan. Uang itu bisa digunakan untuk membeli satu sak beras dengan berat 30 kilogram.

Itu baru masalah pertama. Masalah lainnya, dari sektor izin mendirikan bangunan (IMB). Pemerintah Aceh Utara dalam rancangan umum tata ruang kecamatan (RUTRK) dan rancangan detail tata ruang kota kecamatan (RDTUK) disebutkan ada daerah tertentu yang ditetapkan sebagai ruang terbuka hijau (RTH).

Khusus untuk daerah RTH, tidak boleh dibangun apa pun oleh pemiliknya. Tentu ini menjadi bumerang. Para pemilik tanah merasa dizalimi oleh pemerintah. “Itu tidak adil. Misalnya, saya punya tanah, punya sertifikatnya. Enak saja dilarang oleh pemerintah, melarang saya membangunnya. Hanya sekadar itu daerah hijau,” sebut Alamsyah (45), warga Keude Panton Labu, Kecamtan Tanah Jambo Aye, Aceh Utara.

Dia menyebutkan harus diberikan kompensasi bagi masyarakat yang tanahnya ditetapkan sebagai ruang terbuka hijau (RTH). Hal itu diakui oleh Kepala Seksi Ketentraman dan Ketertiban (Trantib) Kecamatan Tanah Jambo Aye, Zulkifli.

Dia menyebutkan, banyak masyarakat yang protes terkait penetapan RTH tersebut. “Ini memberatkan masyarakat. Persoalan itu sudah sampai ke dinas terkait,” sebut Zulkifli.

Saat ini, sebut Zulkifli, dari 700 unit rumah dan toko (Ruko) di Panton Labu, hanya sekitar 350 unit atau 50 persen yang memiliki IMB. “Banyak faktor yang membuat masyarakat malas membuat izin, salah satunya biaya yang agak mahal. Bisa sampai Rp 3,5 juta. Tergantung ukuran Rukonya. Selain itu, jarak yang jauh,” sebut Zulkifli.

Dia menambahkan, masyarakat enggan mengurus IMB juga dikarenakan dalam ketentuan bangunan yang berada di pinggir jalan nasional, harus terpaut 200 meter dari garis tengah jalan.

“Masyarakat merasa mereka dirugikan. Karena, harus jauh dari badan jalan. Harusnya bisa dibangun lebih besar, tapi jadi lebih kecil,” sebut Zulkifli. Dia berharap agar ada solusi terkait perizinan tersebut. Sehingga, memudahkan pihak kecamatan melakukan sosialisasi pada masyarakat.

“Masyarakat biasanya mau mengurus IMB kalau sudah sangat membutuhkan. Misalnya meminjam uang ke bank. Salah satu syaratnya bangunan yang dijadikan borogh harus memiliki IMB,” ujar Zulkifli.

Persoalan unik terkait perizinan juga pernah terjadi sekitar September 2010 lalu di Kecamatan Tanah Jambo Aye. Saat itu, sebuah surat permohonan IMB tertanggal 25 September 2010 dari TH Hamid Ali sampai di meja Camat Tanah Jambo Aye, TM Yacob. Dalam surat itu, disebutkan TH Hamid Ali, pekerjaan pedagang dan beralamat di Kompleks Bumi Asri Blok E, No 202 RT/RW Cinta Damai, Medan Helvetia, memohon IMB untuk mendirikan sepuluh pintu kios permanen berlantai satu di Jalan PLN Kota Panton Labu, Kecamatan Tanah Jambo Aye, Aceh Utara.

Syarat yang dilampirkan yaitu tanda lunas pajak, surat keterangan tanah/sertifikat tanah, lunas Sumpeda dan galian C, serta gambar bangunan. Anehnya, TH Hamid Ali telah meninggal dunia beberapa waktu lalu. Sejumlah masyarakat yang ditanyai di Panton Labu, mengaku memang Hamid Ali telah meninggal dunia. Surat itu diduga dipalsukan oleh salah seorang anggota keluarganya. Namun, tidak diketahui siapa sang pelakunya.

Sementara itu, pada tanggal yang sama, Camat Tanah Jambo Aye, TM Yacob, mengeluarkan rekomendasi atas nama TH Hamid Ali. Belakangan, surat itu banyak beredar di kalangan wartawan. Camat pun, mengetahui dia sudah melakukan kekeliruan. Akhirnya, dia mengeluarkan pembatalan surat rekomendasi tersebut. Surat pembatalan itu juga dikirimkan ke KPTSP Aceh Utara.

“Secara kebetulan memang permohonan itu tidak lengkap. Tidak dilampirkan gambar denah tanah. Jadi, tidak kita proses,” sebut Kepala KPTSP Aceh Utara, Murtala.

Sektor perizinan memang perlu dibenahi lebih serius lagi. Seluruh dinas, termasuk Bappeda untuk duduk kembali, mendisain kebijakan yang memudahkan rakyat dan tidak merugikan rakyat. Pasalnya, sektor ini merupakan sumber PAD yang sangat potensial. Misalnya, tahun 2010 ditargetkan PAD sektor perizinan mencapai Rp 480 juta. Ke depan, bisa lebih tinggi lagi. Ini sangat membantu Aceh Utara yang sedang mengalami penyakit krisis keuangan berkepanjangan.

--
Tabloid KONTRAS Nomor : 569 | Tahun XII 25 November - 1 Desember 2010

Sumber : Serambinews.com

Kamis, 02 Desember 2010

Pascabanjir, Petani Jeruk Nipis Rugi

Tue, Nov 30th 2010, 14:40

LHOKSUKON - Setiap kali diterjang banjir, petani Desa Buket Linteung, pedalaman Kecamatan Langkahan, Kabupaten Aceh Utara, merugi hingga puluhan juta rupiah. Pasalnya, beragam hasil pertanian dan perkebunan mareka khususnya jeruk nipis, busuk akibat terendam air.

“Buket Linteung sebagai satu-satunya daerah penghasil jeruk nipis sejak zaman dulu kurang diperhatikan. Setiap kali banjir, kebun kami terendam air hingga satu meter. Banjir bertahan hingga empat hari, sehingga petani tidak bisa ke kebun. Hasilnya, jeruk nipis jatuh berguguran dan akhirnya membusuk,” kata Yasin Said (35), petani jeruk nipis di Desa Buket Linteung kepada Serambi, Senin (29/11).

Hal senada juga disampaikan Muhammad (38), petani lainnya. Ia mengaku, dalam kondisi normal hasil panen jeruk nipis mencapai 400 kilogram per sekali panen per petani. “Saat ini harga jual Rp 5.000 sekilo. Jadi, satu hektare sekali panen bisa dapat uang sekitar Rp 2 juta. Rata-rata kami merugi puluhan juta. Bahkan, ada satu atau dua petani yang rugi sampai ratusan juta akibat banjir,” ungkap Muhammad.

Ditambahkan, banjir telah terjadi di kawasan itu sejak tahun 1980. “Hujan sedikit saja, sudah banjir. Kami harap Pemkab Aceh Utara bisa mencari solusi. Kalau tidak, kami akab terus merugi sepanjang tahun,” harapnya.(c46)

sumber : Serambinews.com

Polhut Sita 1,3 Ton Kayu tanpa Dokumen

Tue, Nov 30th 2010, 12:00

LHOKSEUMAWE - Polisi Kehutanan (Polhut) Aceh Utara berhasil menyita 1,3 ton kayu tanpa dokumen saat dibawa dengan becak di dua lokasi dan waktu berbeda. Kini, kayu tersebut sudah diamankan di kantor kehutanan dan Perkebunan Aceh Utara.

Kepala Satuan Tugas (Kasatgas) Polhut Aceh Utara, Hendra Gunawan kepada Serambi, Senin (29/11) menyebutkan, penangkapan di lokasi pertama kemarin, berawal dari patroli rutin yang dilakukan polhut ke kawasan Muara Dua, Lhokseumawe. Setiba di lokasi, kata Hendra anggota polhut mencurigai kayu jenis meranti merah yang dibawa dengan becak sedang melintasi jalan Banda Aceh-Medan, persisnya di Desa Panggoi, Kecamatan Muara Dua.

Karena kayu itu seperti kayu yang baru dikeluarkan dari hutan, lanjutnya, lalu pembawa kayu itu dihentikan petugas untuk diperiksa. “Seperti dicurigai, setelah diperiksa ternyata benar 0,8 ton kayu yang dibawa itu tak ada dokumen. Kemudian petugas langsung mengamankannya ke kantor Dinas Kehutan dan Perkebunan Aceh Utara di Lhokseumawe,” kata Hendra.

Menurutnya, kini petugas sedang melakukan penyelidikan karena pembawa kayu itu mengaku memiliki dokumen. Tapi hingga kini belum mampu menunjukkan dokumennya. “Jika tak ada dokumen, kayu itu tetap kita amankan di kantor,” ungkap Hendra didampingi anggotanya, Sofyanto.

Sebelumnya, tambah Hendra, pada Selasa (23/11) pagi, petugasnya juga mengamankan setengah ton kayu tanpa dokumen jenis meranti batu di kawasan Cunda, Kecamatan Muara dua Lhokseumawe yang juga dibawa dengan becak. “Hingga kini pembawa kayu itu belum mampu menunjukkan dokumen kayu itu. Sedangkan yang 0,8 ton masih kita periksa,” kata Hendra didampingi Wakilnya, Abdullah.(c37)

Sumber : Serambinews.com

Rabu, 24 November 2010

Lagi, gajah obrak-abrik perkebunan

Friday, 19 November 2010 08:04

ACEH UTARA - Setelah sepi beberapa saat, kawanan gajah yang diperkirakan lebih 25 ekor kembali mengobrak-abrik areal perkebunan di Desa Buket Linteung, Kecamatan Langkahan, Kabupaten Aceh Utara.

Selain mematahkan tanaman sawit tua, satwa liar berbadan jumbo itu juga ikut memusnahkan tanaman muda, seperti sawit setinggi dua meter, tanaman coklat, pisang, pinang, dan jeruk nipis.

Aksi gajah di sana telah terjadi berulangkali, bahkan sejumlah titik seperti di Buket Tengkorak dan kawasan Alue Munjei, kini menjadi sarang gajah yang jumlah mencapai 45 ekor lebih.

Tokoh Desa Buket Linteung, Ridwan, mengatakan aksi kawanan gajah yang jumlah tak terhingga kembali beraksi, di kawasan Dusun Kareung. Dua hari sebelumnya, puluhan warga mencoba melakukan penyisiran dengan menggunakan obor dan meriam bambu.

"Meski telah diupayakan secara tradisional dalam pengusiran hewan berbelalai itu ke arah hutan, namun hingga kini belum membuahkan hasil. Bahkan warga memperkirakan semakin sering diusir semakin banyak kawasan gajah yang datang ke areal perkebunan penduduk," ujar Ridwan, pagi ini.

Kepala Desa Buket Linteung, Abdussalam, membenarkan aksi kawanan gajah kembali terjadi di sejumlah titik di desa itu. Namun karena sudah lelah dengan pengusiran yang tak membuahkan hasil, kini masyarakat lebih memilih diam dan menunggu proses pengusiran.

“Gajah terus beraksi di kawasan Kareung. Luas areal perkebunan sawit yang diamuk sudah tidak terhitung lagi jumlahnya. Bahkan, kini beberapa rumah disana mulai dikosongkan sementara menunggu mundurnya aksi gajah,” jelas Abdussalam.

Sumber : Waspada online

Senin, 22 November 2010

Banjir Bandang Terjang Aceh Utara dan Tamiang

* Lintas Lamno-Calang Tergenang Air 50 Cm
Tue, Nov 23rd 2010, 10:55
Utama

Warga menggunakan sampan sebagai alat trasportasi akibat banjir di kawasan pinggir sungai, Kota Kuala Simpang, Senin (22/11). Sejumlah desa di kawasan hulu Sungai Tamiang dilanda banjir bahkan Kampong Seulamat, Kecamatan Tenggulun, Aceh Tamiang diterjang banjir bandang. SERAMBI/M NASIR




LHOKSEUMAWE - Hujan deras yang mengguyur wilayah pegunungan dan hulu sungai di utara dan timur Aceh, sejak dua hari terakhir, telah menyebabkan banjir bandang (banjir kiriman), di sejumlah kawasan di Aceh Utara dan Aceh Tamiang. Hujan deras juga telah menyebabkan kemacetan di ruas jalan Lamno-Calang, yang digenangi air setinggi 50 centimeter.

Sedikitnya, empat desa dalam wilayah Kecamatan Muara Dua dan satu desa di Kecamatan Blangmangat, Lhokseumawe, sejak Minggu (21/11) malam, dilaporkan diterjang banjir kiriman dari kawasan perbukitan di daerah itu. Akibatnya, aktivitas sebagian masyarakat setempat, termasuk sekolah, dilaporkan ikut terganggu.

Desa-desa yang dilanda banjir bandang itu adalah Desa Meunasah Mesjid, Uteunkot, Meunasah Alue, dan Paya Punteuet di Kecamatan Muara Dua, serta Desa Blang We Panjo di Kecamatan Blang Mangat. Bahkan, kegiatan belajar mengajar di SMP Negeri 7 Lhokseumawe, di Desa Unteukot, ikut terhenti akibat digenangi air akibat banjir bandang itu.

Berdasarkan informasi yang dihimpun Serambi, kemarin, banjir bandang seperti yang dialami warga di dua kecamatan itu baru pertama kali terjadi, di mana setelah reda hujan baru air datang dan mengenangi wilayah pemukiman dan rumah-rumah mereka. “Di desa kami, banjir hanya menggenangi areal persawahan,” kata Aji, Keuchik Blang We Panjo, Kecamatan Blangmangat.

Sumber lainnya menyebutkan, pihak aparat Desa Meunasah Masjid, Senin (22/11) dini hari kemarin, terpaksa mengimbau warga yang rumahnya digenangi banjir untuk mengungsi ke masjid. “Setelah kita imbau, ada 40 kepala keluarga yang mengungsi ke masjid. Namun, sebagian besar warga lainnya memilih bertahan di rumah masing-masing,” kata Keuchik Meunasah Masjid, Irwan Yusuf.

Hujan deras yang terus turun sejak dua hari terakhir, juga telah menyebabkan sejumlah ruas jalan di Kota Lhokseumawe ikut digenangi banjir. Bahkan, ruas jalan di simpang Kantor Pos hingga ke RS Kesrem dan jalan Lancang Garam digenangi air sampai 35 centimeter.

Dikepung banjir
Sementara itu, dari Kuala Simpang, Aceh Tamiang, dilaporkan kawasan hulu Sungai Tamiang di Kecamatan Tenggulun dan Kecamatan Tamiang Hulu kini juga dikepung banjir setinggi satu meter. Bahkan, Desa Seulamat di Kecamatan Tenggulun, sejak Minggu (21/11) malam lalu, dilaporkan sempat diterjang banjir bandang.

Tidak ada korban jiwa dalam musibah banjir tersebut namun aktivitas warga lumpuh, warga hanya siaga dan berdiam diri di rumah, khawatir jika tiba-tiba air terus meningkat. Sementara sejumlah sekolah walaupun tidak libur terpaksa ditutup, tidak ada aktivitas belajar karena murid–muridnya tidak bisa hadir ke sekolah akibat banjir.

Camat Tenggulun, Rafiie, mengatakan beberapa desa dalam wilayah kecamatan yang dipimpinnya itu terendam banjir. Di antaranya, Desa Simpang Kiri banjir menggenangi tiga dusun yakni Dusun Termal, Sisirau, dan Pondok. “Tapi yang paling parah adalah Desa Seulamat, yang diterjang banjir bandang dengan ketinggian air sebatas dada orang dewasa,” katanya kepada Serambi, kemarin.

Banjir juga merendam Desa Tenggulun dan menggenangi badan jalan yang membuat arus transportasi ikut terganggu. Sedangkan sekolah di Simpang Kiri tidak ada kegiatan belajar mengajar, karena muridnya tidak bisa hadir kesekolah akibat rumah mereka banjir. Banjir kali ini, juga menggenangi sejumlah kawasan di dalam kota Kuala Simpang, ibukota Aceh Tamiang.

Mengalami kemacetan
Semendata itu, sejak Minggu (21/11) siang sampai Senin (22/11) Sore kemarin, ratusan kenderaan umum dan pribadi di wilayah rakit Kuala Unga, Meudang Ghon dan Lambeso masih mengalami kemecetan. Kondisi ini terjadi akibat tingginya curah hujan yang melanda wilayah tersebut sehingga mengakibatkan jalan tanggap darurat yang dibangun TNI lima tahun lalu digenangi air hingga ketinggian 50 cm.

Selain itu akibat derasnya arus sungai Kuala Unga dan Lambeso, penyeberangan kenderaan umum dan pribadi, pada kedua rakit tersebut ikut terganggu. Menurut sejumlah sopir Mini Bus L-300 jurusan pantai barat, kemecetan dan antrean panjang kenderaan umum dan pribadi yang berangkat dari Banda Aceh menuju Meulaboh, maupun sebaliknya, yang hingga Senin (22/11) kemarin belum teratasi.

Kepala Dinas Bina Marga dan Cipta Karya (BMCK) Aceh, Ir Muhyan Yunan yang dikonfirmasi Serambi, kemarin, membenarkan bahwa arus lalu lintas dari Calang-Lamno masih mengalami kemacetan. Sampai kemarin, antrean panjang ratusan kenderaan umum dan pribadi terlihat di jalur rakit Kuala Unga dan Lambeso. “Antrean panjang juga disebabkan arus penyeberangan rakit, yang memakan waktu 6-8 jam untuk bisa diseberangkan,” katanya.

Untuk mengatasi kemecetan penyeberangan di dua lokasi rakit itu, kata Muhyan, solusinya harus menunggu air sungai menurun. Sedangkan untuk mengatasi kemecetan kenderaan yang terperangkap lumpur di Meudang Ghon, pada ruas jalan tanggap darurat yang dibangun TNI lima tahun lalu, baru bisa dilakukan setelah air yang tergenang di badan jalan sudah kering.

Wakil Ketua II DPRA, yang mengkoordinir Bidang Infrastruktur, Drs H Sulaiman Abda, kemecetan ini terjadi akibat lambanya penyelesaian pembangunan ruas jalan Lamno-Calang, terutama untuk pekerjaan Section IV. “Kemecetan arus lalu lintas terjadi pada ruas yang jembatan dan badan jalan yang belum dikerjakan Sangyong, rekanan USAID,” katanya.

Untuk mengatasi kemacetan pada ruas jalan itu, kata Sulaiman Abda, seharusnya pihak Dinas BMCK, bersama Dinas PU Aceh Jaya dan Sangyong, kontraktor yang ditunjuk USAID melanjutkan pekerjaan ruas jalan Section IV tersebut menjaga badan jalan tanggap darurat jangan sampai digenangi air hujan pada waktu musim hujan.

Dikatakannya, badan jalan tanggap darurat itu sangat riskan terhadap truk yang bermuatan 30-40 ton, di mana setiap musim penghujan, tetap ada truk yang terperosok lumpur di jalan tanggap darurat. “Ini menunjukkan badan jalan tanggap darurat itu tidak mampu menahan beban truk yang bermuatan 30-40 ton,” ujar Sulaiman Abda.(bah/c37/ib/md/her)

sumber : Serambinews.com

Minggu, 21 November 2010

Krueng Peutoe Diduga Tercemar Limbah Pabrik

* Air Sungai Berubah Warna, Ikan Mati

Sun, Nov 21st 2010, 10:44
LHOKSUKON – Masyarakat yang bermukim di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) Krueng Peutoe, mulai dari Kecamatan Cot Girek sampai Kecamatan Lhoksukon, Aceh Utara, Sabtu (20/11) sore dipanikkan dengan perubahan warna air sungai, termasuk bau dan banyaknya ikan yang mati mengapung. Masyarakat meyakini air sungai itu tercemar limbah pabrik pengolahan kelapa sawit.

Informasi yang diterima Serambi, Sabtu (20/11) malam sekitar pukul 19.30 WIB menyebutkan, masyarakat mengetahui air Krueng Peutoe tercemar ketika hendak mandi di sungai tersebut. Masyarakat kaget karena warna air sungai kehitam-hitaman, berminyak, dan baunya sama seperti kasus pencemaran beberapa waktu lalu.

Keuchik Meunasah Tuha, Kecamatan Lhoksukon, M Kasyah Abdurrahman kepada Serambi mengatakan, setelah mendapat laporan dari warganya, dia langsung memastikan ke sungai. Ternyata benar, bahkan sebagian besar warganya ikut mengumpulkan ikan yang mengapung di permukaan air.

Sejak magrib kemarin, kata M Kasyah, air sungai tersebut berubah dari kehitam-hitaman menjadi agak kuning dan berminyak. “Hingga menjelang shalat Isya saya masih mengumpulkan ikan yang mati bersama warga lain di jembatan gantung,” kata Keuchik Kasyah dibenarkan warganya, Ismail Abdullah (43) dan Nuraini.

Seorang warga Desa Lhok Reuhat, Azhar (35) tadi malam juga menyebutkan, Krueng Peutoe yang melintasi desanya juga tercemar. Menurutnya, ikan mati di sungai tersebut bukan karena diracun, tetapi karena dugaan pencemaran sungai tersebut. “Anak saya juga membawa pulang ikan yang sudah mati yang dikumpulkan di sungai,” katanya.

Tidak benar
Asisten Pengolahan Pabrik Kelapa Sawit Cot Girek, M Yacob yang dihubungi Serambi menyebutkan, pihaknya selama ini tidak membuang limbah pabrik ke sungai. Apalagi, selama ini pabrik kelapa sawit sudah kurang beroperasi karena produksi TBS (tandan buah segar) mulai berkurang.

“Setiap hari Minggu dan kadang-kadang Sabtu, pabrik tidak kita operasikan. Jika tercemar karena limbah pabrik, seharusnya yang duluan tercemar adalah Desa Alue Semambu, bukan langsung ke sungai. Tapi desa itu tak apa-apa,” kata M Yacob. Mengenai banyaknya ikan yang mati di aliran sungai tersebut, menurut M Yacob bisa jadi karena faktor lain, bukan karena tercemar limbah pabrik.(c37)

Sumber : Serambinews.com

Limbah Pabrik Harusnya tak Mencemari Sungai

Mon, Nov 22nd 2010, 09:35

Masyarakat yang bermukim di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) Krueng Peutoe, mulai dari Kecamatan Cot Girek hingga Kecamatan Lhoksukon, Aceh Utara, Sabtu (20/11) sore, dipanikkan oleh perubahan warna dan bau air Sungai Peutoe, serta banyaknya ikan yang mati mengapung. Masyarakat meyakini, air sungai itu sudah tercemar limbah pabrik pengolahan kelapa sawit.

Masyarakat baru menyadari air sungai tersebut sudah tercemar justru ketika hendak mandi sore di sungai. Mereka kaget karena warna airnya berubah menjadi kehitam-hitaman, berminyak agak kuning, dan baunya khas, mirip bau yang tercium ketika terjadi pencemaran oleh limbah pabrik sawit beberapa waktu lalu di sungai yang sama.

Keuchik Meunasah Tuha, Kecamatan Lhoksukon, M Kasyah Abdurrahman mengatakan, setelah mendapat laporan dari warganya, dia langsung memastikan ke sungai. Ternyata benar, bahkan sebagian besar warganya ikut mengumpulkan ikan yang mati mengapung di permukaan air akibat tercemar limbah.

Secara ekologis, tampaknya sudah cukup syarat untuk menyimpulkan bahwa benar Krueng Peutoe memang tercemar. Bahwa ada zat polutan yang masuk dalam jumlah besar ke sungai, sehingga mengubah warna dan aroma air sungai tersebut. Indikasi lain, ikan sungai yang habibatnya memang di sungai, justru ditemukan mati mengapung dalam jumlah massif.

Jika ditelisik lebih jauh, misalnya, dengan mengambil sampel air yang diduga tercemar itu, lalu diperiksa di laboratorium independen, mungkin saja bukan cuma ikan yang ikut mati. Tetapi juga jasad-jasad renik atau mikroorganisme lainnya yang seharusnya hidup aman dan nyaman apabila air sungai dalam kondisi normal.

Lebih jauh ini, fungsi hidrologis sungai tersebut mungkin saja sudah terganggu, karena masuknya zat polutan yang berkategori bahan berbahaya dan beracun (B3). Tapi jangan cepat-cepat menuding bahwa limbah tersebut memang disebabkan limbah Pabrik Kelapa Sawit Cot Girek. Soalnya, seperti dikatakan asisten pengolahan pabrik tersebut, M Yacob, selama ini pabrik tersebut tidak membuang limbah ke sungai. Apalagi selama ini pabrik kelapa sawit tersebut sudah kurang beroperasi karena produksi tandan buah segar mulai berkurang.

Apa yang dikatakan M Yacob tersebut bisa saja pembelaan dirinya, mengatasnamakan pabrik sawit tempat ia bekerja. Oleh karenanya, agar kita tidak terjebak pada polemik panjang, maka Pemkab haruslah segera memerintahkan Kepala Badan Lingkungan Hidup Aceh Utara untuk menyelidiki dan memeriksa sampel air sungai untuk memastikan zat polutan apa yang sebetulnya sudah mencemari sungai tersebut dan pihak mana yang menyebabkannya.

Bila semuanya sudah jelas, pihak pencemar harus dimintai pertanggungjawaban perdata dan diproses secara hukum berdasarkan Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Di era modern ini, seharusnyalah berbagai masalah kita selesaikan dengan hukum yang berlaku. Jangan main hakim sendiri.

sumber : Serambinews.com

Minggu, 14 November 2010

Jalan Jambo Aye Tengah Rusak Parah

Fri, Nov 12th 2010, 14:39

LHOKSUKON - Jalan sepanjang 15 kilometer dari Desa Lhok Meureubo sampai ke Bukit Nibong dan tembus ke Transmigrasi Unit-V saat ini rusak parah. Padahal, jalan tersebut merupakan pintu gerbang bagi warga 17 desa di Kemukiman Jambo Aye Tengah, warga Baktiya, dan Kecamatan Langkahan.

Keuchik Matang Maneh, Zulli Amin mengatakan, jalan di desa itu sepanjang 2,5 kilometer tidak pernah diaspal sejak puluhan tahun lalu. Padahal, menurutnya, jalan itu adalah sarana transportasi utama bagi warga beberapa desa untuk mengangkut hasil bumi ke pasar Pantonlabu. Dikatakan, saat musim hujan jalan itu berlubang sehingga sulit dilalui. “Kita telah beberapa kali mengusulkan perbaikan jalan itu dalam Musrembang, namun sampai kini belum juga diaspal,” ujarnya.

Hal serupa juga diungkapkan Keuchik Lhok Beuringen, Zulkifli Ishak. Menurutnya, sekitar 13 kilometer jalan di Lhok Meureubo sampai Bukit Nibong kondisinya sangat memprihatinkan. Ratusan pelajar jika musim hujan harus melintasi jalan berlumpur untuk menuju ke sekolah. Karena itu, ia mengharapkan pihak terkait segera memperbaiki jalan tersebut.(ib)

Sumber : Serambinews.com