Tue, Nov 30th 2010, 15:44
Masriadi Sambo - KONTRAS
Sektor perizinan memang menjadi sorotan baru di Aceh Utara. Pasalnya, sektor ini dinilai menjadi lumbung pendapatan asli daerah (PAD). Namun, banyak persoalan yang melilit sektor itu. Mulai dari selektifitas yang lemah, hingga fasilitas yang tidak memadai.
GEDUNG bertingkat dua di Jalan Iskandar Muda, Kota Lhokseumawe, itu terlihat sepi. Sesekali masyarakat datang memasuki kantor bercat warna putih itu. Itulah gedung Kantor Perizinan Terpadu Satu Pintu (KPTSP) Aceh Utara.
Di dalam gedung sangat terasa suasana sepi. Di bagian kanan pintu masuk tampak dua pegawai santai di loket pembayaran. Hari itu, memang tidak ada masyarakat yang mengantre mengurus izin. Di bagian gedung lainnya, tampak pegawai juga santai. Di dalam gedung itulah seluruh proses perizinan di Aceh Utara diterbitkan, dari izin mendirikan bangunan (IMB) sampai izin industri. Saat ini tercatat ada 19 jenis perizinan yang ditangani kantor tersebut. Bahkan, qanun tentang izin pariwisata juga sedang digodok. Artinya, pada tahun 2011 mendatang, kantor itu akan mengurusi izin sebanyak 20 jenis.
Persoalan perizinan memang baru ditangani di kantor itu dalam setahun terakhir. Sebelumnya, sektor perizinan terpencar di sejumlah dinas. Misalnya, izin rumah makan, ditangani oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. Pascadileburkannya sejumlah dinas dan dibangunnya KPTSP awal tahun lalu, seluruh perizinan telah ditangani kantor ini.
Masalah di sektor perizinan memang cukup rumit. Untuk mendapatkan izin, sejumlah masyarakat harus datang ke KPTSP di Lhokseumawe. Sedangkan masyarakat Aceh Utara lebih banyak berada di daerah pedalaman, misalnya di Kecamatan Langkahan, yang berbatasan langsung dengan Aceh Timur. Kecamatan Nisam Antara berbatasan langsung dengan Kabupaten Bener Meriah, dan sejumlah kecamatan pedalaman lainnya.
Akibatnya, praktik pungutan liar di kantor kecamatan pun tak bisa dihindarkan. Umumnya, untuk mengurus izin masyarakat meminta rekomendasi dari kecamatan. Lalu, baru membawanya ke KPTSP.
“Lebih banyak yang menggunakan pegawai kecamatan. Jadi, di sini biasanya diminta biaya lagi oleh oknum pegawai kecamatan. Ini sudah jadi rahasia umumlah,” ujar sumber Kontras yang meminta namanya tak disebutkan. Rata-rata pungutan itu sebesar Rp 100.000.
“Alasannya biaya jasa ke Lhokseumawe. Padahal, orang kecamatan dilarang keras untuk melakukan itu,” sebut sumber ini. Bagi masyarakat yang berada, memang tak masalah mengeluarkan uang sebesar Rp 100.000. Namun, bagi masyarakat miskin, ini menjadi persoalan. Uang itu bisa digunakan untuk membeli satu sak beras dengan berat 30 kilogram.
Itu baru masalah pertama. Masalah lainnya, dari sektor izin mendirikan bangunan (IMB). Pemerintah Aceh Utara dalam rancangan umum tata ruang kecamatan (RUTRK) dan rancangan detail tata ruang kota kecamatan (RDTUK) disebutkan ada daerah tertentu yang ditetapkan sebagai ruang terbuka hijau (RTH).
Khusus untuk daerah RTH, tidak boleh dibangun apa pun oleh pemiliknya. Tentu ini menjadi bumerang. Para pemilik tanah merasa dizalimi oleh pemerintah. “Itu tidak adil. Misalnya, saya punya tanah, punya sertifikatnya. Enak saja dilarang oleh pemerintah, melarang saya membangunnya. Hanya sekadar itu daerah hijau,” sebut Alamsyah (45), warga Keude Panton Labu, Kecamtan Tanah Jambo Aye, Aceh Utara.
Dia menyebutkan harus diberikan kompensasi bagi masyarakat yang tanahnya ditetapkan sebagai ruang terbuka hijau (RTH). Hal itu diakui oleh Kepala Seksi Ketentraman dan Ketertiban (Trantib) Kecamatan Tanah Jambo Aye, Zulkifli.
Dia menyebutkan, banyak masyarakat yang protes terkait penetapan RTH tersebut. “Ini memberatkan masyarakat. Persoalan itu sudah sampai ke dinas terkait,” sebut Zulkifli.
Saat ini, sebut Zulkifli, dari 700 unit rumah dan toko (Ruko) di Panton Labu, hanya sekitar 350 unit atau 50 persen yang memiliki IMB. “Banyak faktor yang membuat masyarakat malas membuat izin, salah satunya biaya yang agak mahal. Bisa sampai Rp 3,5 juta. Tergantung ukuran Rukonya. Selain itu, jarak yang jauh,” sebut Zulkifli.
Dia menambahkan, masyarakat enggan mengurus IMB juga dikarenakan dalam ketentuan bangunan yang berada di pinggir jalan nasional, harus terpaut 200 meter dari garis tengah jalan.
“Masyarakat merasa mereka dirugikan. Karena, harus jauh dari badan jalan. Harusnya bisa dibangun lebih besar, tapi jadi lebih kecil,” sebut Zulkifli. Dia berharap agar ada solusi terkait perizinan tersebut. Sehingga, memudahkan pihak kecamatan melakukan sosialisasi pada masyarakat.
“Masyarakat biasanya mau mengurus IMB kalau sudah sangat membutuhkan. Misalnya meminjam uang ke bank. Salah satu syaratnya bangunan yang dijadikan borogh harus memiliki IMB,” ujar Zulkifli.
Persoalan unik terkait perizinan juga pernah terjadi sekitar September 2010 lalu di Kecamatan Tanah Jambo Aye. Saat itu, sebuah surat permohonan IMB tertanggal 25 September 2010 dari TH Hamid Ali sampai di meja Camat Tanah Jambo Aye, TM Yacob. Dalam surat itu, disebutkan TH Hamid Ali, pekerjaan pedagang dan beralamat di Kompleks Bumi Asri Blok E, No 202 RT/RW Cinta Damai, Medan Helvetia, memohon IMB untuk mendirikan sepuluh pintu kios permanen berlantai satu di Jalan PLN Kota Panton Labu, Kecamatan Tanah Jambo Aye, Aceh Utara.
Syarat yang dilampirkan yaitu tanda lunas pajak, surat keterangan tanah/sertifikat tanah, lunas Sumpeda dan galian C, serta gambar bangunan. Anehnya, TH Hamid Ali telah meninggal dunia beberapa waktu lalu. Sejumlah masyarakat yang ditanyai di Panton Labu, mengaku memang Hamid Ali telah meninggal dunia. Surat itu diduga dipalsukan oleh salah seorang anggota keluarganya. Namun, tidak diketahui siapa sang pelakunya.
Sementara itu, pada tanggal yang sama, Camat Tanah Jambo Aye, TM Yacob, mengeluarkan rekomendasi atas nama TH Hamid Ali. Belakangan, surat itu banyak beredar di kalangan wartawan. Camat pun, mengetahui dia sudah melakukan kekeliruan. Akhirnya, dia mengeluarkan pembatalan surat rekomendasi tersebut. Surat pembatalan itu juga dikirimkan ke KPTSP Aceh Utara.
“Secara kebetulan memang permohonan itu tidak lengkap. Tidak dilampirkan gambar denah tanah. Jadi, tidak kita proses,” sebut Kepala KPTSP Aceh Utara, Murtala.
Sektor perizinan memang perlu dibenahi lebih serius lagi. Seluruh dinas, termasuk Bappeda untuk duduk kembali, mendisain kebijakan yang memudahkan rakyat dan tidak merugikan rakyat. Pasalnya, sektor ini merupakan sumber PAD yang sangat potensial. Misalnya, tahun 2010 ditargetkan PAD sektor perizinan mencapai Rp 480 juta. Ke depan, bisa lebih tinggi lagi. Ini sangat membantu Aceh Utara yang sedang mengalami penyakit krisis keuangan berkepanjangan.
--
Tabloid KONTRAS Nomor : 569 | Tahun XII 25 November - 1 Desember 2010
Sumber : Serambinews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar